BANDUNG (Harian.co) — "Jika kita memperhatikan tren ancaman di dunia siber, saat ini relatif hampir semua negara sudah memiliki pasukan siber meskipun dengan nomenklatur yang berbeda-beda. Namun hakikatnya sama, yaitu beranjak dari kesadaran kolektif terkait dengan bela negara dan upaya-upaya pertahanan negara dari berbagai serangan atau ancaman luar dengan menggunakan berbagai instrumen, terutama instrumen berbasis internet. Potensi ancaman di dunia siber tersebut saat ini sudah menjadi ancaman nyata bagi seluruh negara, tanpa terkecuali sehingga wajar saja setiap negara berupaya agar memiliki kemampuan untuk menangkal dan bila perlu melakukan serangan balik terhadap pelaku penyerangan. Pelakunya bisa aktor negara atau bisa juga aktor non negara dengan segala atribut kepentingannya. Target kepentingannya bisa berorientasi untuk mengganggu sistem pertahanan suatu negara, mengganggu keamanan nasional suatu negara, membangun ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintahnya, mengganggu perekonomian suatu negara, atau hanya sebatas tindakan kriminal berbentuk kejahatan siber (cyber crime)," ujar Pemerhati Hankam Dede Farhan Aulawi di Bandung, Sabtu (23/03/2024).

Menurutnya, dalam merespon realitas potensi ancaman tersebut maka setiap negara saat ini terus memperkuat basis pertahanan siber (Cyber Defense) dengan membentuk pasukan siber, baik yang bersifat terpusat ataupun tersebar sesuai dengan kondisi geografis dan potensi ancaman nyata yang dihadapi oleh masing-masing negara. Intinya berorientasi pada kemampuan Daya Cegah dan Daya Tangkal serangan yang bisa merugikan dan merusak sistem di suatu negara. Bahkan dalam kondisi tertentu, tidak cukup dengan strategi defensif saja melainkan juga secara nyata melakukan operasi ofensif terhadap musuh yang nyata-nyata mengganggu kepentingan negara.

"Perang siber saat ini bukan lagi sekadar game virtual dan cerita fiksi, tapi sudah menjadi bagian nyata dari ancaman yang dihadapi oleh hampir semua negara. Inilah yang sering disebut dengan istilah ‘fifth dimension of warfare’ selain darat, laut, udara, dan ruang angkasa. Alasannya, inovasi teknologi sedang mengubah taktik perang modern, mengubah dunia siber menjadi garis depan pertempuran. Dijadikannya ranah siber sebagai matra perang kelima cukup beralasan, karena semua negara pasti ingin meningkatkan kemampuan untuk mengamankan diri dari serangan musuh. Kemajuan pesat teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini akan menjadi landasan penting bagi pengembangan doktrin militer di masa mendatang. Dengan demikian teknologi informasi dan komunikasi akan sangat mempengaruhi perubahan strategi militer," tambahnya.

Selanjutnya Dede juga mencontohkan Amerika Serikat yang memiliki United States Cyber Command (US CYBERCOM) di bawah United States Strategic Command (US STRATCOM) yang mulai diaktifkan pada tahun 2009, sebagai antisipasi terhadap banyaknya serangan cyber terhadap jaringan komputer, internet, maupun infrastruktur di negaranya. Itulah sebabnya Kementerian Pertahanan Amerika Serikat (US DoD) mendeklarasikan bahwa internet atau dunia maya sebagai matra tempur baru, seperti halnya darat, laut dan udara. Keputusan ini merupakan jawaban dari banyaknya insiden pencurian data dan teknologi militer Amerika Serikat.

Begitupun dengan NATO, yang memiliki NATO Cooperative Cyber Defense Centre of Excellence (NATO CCD COE) yang berpusat di kota Tallin Estonia merupakan badan keamanan cyber pakta pertahanan atlantik utara (NATO) yang didirikan yang didirikan dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan pertahahanan cyber NATO. Begitu juga dengan Israel yang memiliki unit khusus bernama Unit 8200 dengan spesialisasi cyber warfare dibawah Israel Defense Forces (IDF). Satuan ini terbukti pernah berhasil menghentikan operasi radar senjata anti pesawat udara, dan juga menghentikan serangan worm Stuxnet yang menyerang sistem komputer fasilitas nuklirnya.

Selanjutnya Australia melalui Direktorat Pertahanan Sinyal Departemen Pertahanan Australia telah membentuk Cyber Security Operations Centre (CSOC) yang bertanggung jawab untuk mendeteksi dan menangkal ancaman kejahatan cyber terhadap kepentingan dan pemerintah Australia. Begitupun dengan China yang membentuk pasukan dunia maya bernama “Blue Army” yang bertugas melindungi negara dari serangan cyber. Skuad digital ini berbasis di kawasan militer Guangzhou. Kemudian Inggris juga membangun pertahanan cyber yang bernama Cyber Security Operations Centre (CSOC) berada di Government Communications Headquarters (GCHQ) di Cheltenham.

Jadi dinamika saat ini, pertempuran tidak lagi hanya secara fisik, tetapi berkembang menjadi peperangan yang memanfaatkan jaringan komputer dan internet. Karenanya, orientasi pengembangan kekuatan pertahanan dalam menjaga kedaulatan negara, tidak boleh melupakan peran strategis pasukan siber tersebut. Meskipun sebenarnya Indonesia sudah memiliki beberapa badan untuk keamanan jaringan, infrastruktur internet dan kejahatan siber. Namun tentu tidak cukup hanya dengan kata ‘Telah Ada’ karena potensi ancamannya terus berkembang. Oleh karena itu penyediaan dan penyiapan tenaga-tenaga profesional yang terlatih harus menjadi bagian integral dalam penyusunan grand strategi pertahanan siber negara.

"Ancaman terhadap negara saat ini bukan hanya berwujud pada serangan bersenjata, tetapi juga kepada perang pemikiran dan pembangunan opini yang banyak menggunakan media internet atau cyber. Disinilah penting dan strategisnya merumuskan konsep National Cyber Defense agar Indonesia memIliki pasukan siber yang tangguh dan mumpuni sehingga bisa terampil dalam setiap  operasi militer cyber warfare. Satu hal yang patut diingat bahwa potensi ancaman itu tidak STAGNAN, tetapi terus berkembang mengikuti ritme perkembangan teknologi. Dengan demikian, saat merumuskan strategi pertahanan negara termasuk di dalamnya pertahanan siber harus mampu mengikuti potensi ancaman sesuai dengan perkembangan zaman di masanya," pungkas Dede.

(*)