JAKARTA (Harian.co) — "Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berdampak pada banyak perubahan sudut pandang kepentingan. Ada yang melihat dari sisi pemanfaatan untuk tujuan positif, dan ada juga yang melihat dari sisi negatif. Contohnya kemajuan bioteknologi, oleh sebagian orang ternyata dikembangkan menjadi senjata biologis, yang tentu saja sangat berbahaya bagi kelangsungan dan keselamatan umat manusia. Oleh karenanya pemahaman yang komprehensif terkait dengan senjata biologis dan upaya pencegahannya harus benar – benar dipahami untuk menjaga keselamatan bangsa dan negara. Dalam konteks ini, penguatan SDM Intelijen Medik (Kesehatan) harus diperkuat baik dari sisi jumlah maupun kompetensi. Inilah tantangan pertempuran masa depan yang akan berbasis pada senjata biologi," ujar Pemerhati Intelijen Dede Farhan Aulawi di Jakarta, Jum’at (01/03/2024).

Hal tersebut ia sampaikan setelah dirinya bersilaturahmi dan berdiskusi dengan mantan Menteri Kesehatan RI ibu DR. dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP di kediamannya Kawasan Jakarta Timur. Pada kesempatan tersebut, terjadi perbincangan ringan membahas subjek – subjek yang sangat menarik yaitu Senjata Biologis (Biological Weapon) dan Intelijen Kesehatan / Medik (Medical Intelligence). Kedua subjek bahasan tersebut diintegrasikan dalam suatu konsep dasar apa yang disebut dengan Pertahanan Sumber Daya Hayati (Biodefence).

Menurutnya, salah satu jenis ancaman yang sedang mengemuka saat ini adalah ancaman terhadap penyalahgunaan sumber daya hayati. Disamping bermanfaat, sumber daya hayati juga dapat digunakan sebagai bahan senjata pemusnah masal, yaitu senjata biologi (bioweapons). Senjata biologi adalah mikroorganisme yang menyebabkan penyakit, digunakan untuk melumpuhkan musuh, yang target serangannya tidak saja manusia tetapi juga digunakan untuk melumpuhkan perekonomian suatu negara melalui penyebaran wabah penyakit, juga menciptakan ketakutan dan kekacauan. Misalnya berupa flu burung, antrax, cacar, ebola, Mers CoV, dan lain-lain.

Selanjutnya Dede juga menjelaskan bahwa saat ini, intensitas ancaman dari sumber daya hayati semakin meningkat dengan kemajuan di bidang rekayasa genetika, teknologi nuklir, biologi-khusus bioteknologi, dan kimia. Kekhawatiran ini terjadi apabila sumber daya hayati dimanfaatkan oleh orang atau kelompok yang tidak bertanggungjawab dan digunakan sebagai senjata biologi (bioweapons), bioterorism dan lain-lain. Karena senjata biologi tidak hanya digunakan untuk perang tetapi juga dapat digunakan tujuan terorisme. Keunggulan senjata biologi adalah kemampuan produksi yang tinggi, kemudahan penyimpanan, potensi proliferasi, kesulitan untuk melacak individu atau kelompok yang menggunakannya.

Dalam konteks ini Indonesia selalu turut aktif mengikuti perkembangan tentang penggunaan senjata biologi Internasional sebagaimana diatur dalam Resolusi Dewan Keamanan PBB No.1540 Tahun 2004 khususnya dalam rangka mencegah proriferasi, Weapon of Mass Destruction (Chemical, Biological Radiological, Nuclear) dan penggunaannya oleh aktor non negara (non state actor).  Dalam konteks ini maka semua pengemban fungsi intelijen diharapkan mampu secara efektif melakukan tugas pendeteksian dini, identifikasi,dan analisis dalam rangka memberikan peringatan dini untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan bentuk dan sifat ancaman yang potensial dan nyata terhadap keselamatan dan eksistensi bangsa dan negara serta peluang yang ada bagi kepentingan dan keamanan nasional. 

Sementara saat berdiskusi terkait dengan Intelijen Medik, ditekankan pentingnya penguatan kompetensi dan SDM intelijen dalam menghadapi potensi ancaman penggunaan senjata biologis sebagai instrumen agresi yang bisa mengancam keamanan negara. Di Indonesia istilah ini belum dikenal banyak oleh masyarakat, dan kelihatannya seperti tidak nyambung. Padahal di luar hal tersebut sudah dilakukan sejak lama, misalnya saja bagaimana Pasukan Elit Israel bernama Sayeret Matkal bertugas mengamankan data pasien Covid-19. Lalu intelijen Mossad Israel bertugas menyediakan fasilitas kesehatan dan medis guna mengatasi pandemi Covid-19.

Intelijen Medik pada dasarnya bertugas untuk menyelenggarakan kegiatan Intelijen di bidang kesehatan dalam merespon potensi ancaman yang berbahay,a khususnya ancaman biologis atau bio-threat. Oleh karena itu, Intelijen Medik menjadi lini terdepan dalam melakukan respon terhadap segala bentuk ancaman biologis dengan melaksanakan deteksi dan peringatan dini terhadap ancaman biologis yang berpotensi mengancam keselamatan negara. 

Kemudian saat ini muncul juga apa yang disebut dengan senjata biologis sintetis (Synthetic bioweapon, SBW) yang merupakan hasil modifikasi biologi sebagai senjata melalui proses biologi sintetis untuk menciptakan efek, mekanisme, atau proses baru. Misalnya, CRISPR-Cas9 (clustered regularly interspaced short palindromic repeats) dan Protein Asosiasi CRISPR 9 yang memungkinkan lahirnya senjata biologi berkemampuan baru, karena sulit dideteksi, tidak memiliki perbandingan setara konvensional, dan lebih sulit dilawan.

Itulah sebabnya, kemajuan ilmu bioteknologi (terutama rekayasa genetika) dapat disalahgunakan untuk mengembangkan senjata biologis yang sangat berbahaya, contohnya adalah menghasilkan organisme makroskopis yang secara genetik sudah dimodifikasi untuk memproduksi toksin atau racun berbahaya. Berbagai agen biologis patogenik juga dapat direkayasa secara genetik agar lebih tahan atau stabil pada kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan dan memiliki resistensi terhadap antibiotik, vaksin, dan terapi yang sudah ada. Selain itu, bioteknologi juga dimanfaatkan untuk pembuatan agen biologis yang tidak dapat dikenali oleh sistem imun atau antibodi tubuh karena profil imunologisnya telah diubah.

"Dalam perspektif sejarah, senjata biologis sudah muali digunakan sejak tahun 400 SM, ketika orang Iran Kuno (scythians) menggunakan panah yang dicelupkan ke dalam feses (kotoran) dan mayat makhluk hidup yang telah membusuk. Hal serupa juga dilakukan oleh bangsa Roma yang mencelupkan pedangnya ke dalam pupuk dan sisa hewan yang telah membusuk sebelum berperang dengan musuhnya. Apabila musuhnya terluka oleh senjata tersebut, maka terjadi infeksi penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Begitupun ketika bangsa Mongol mengusir bangsa Genoa dari kota Kaffa di Laut Hitam dengan memanfaatkan mayat-mayat manusia yang terinfeksi wabah pes sehingga menimbulkan "kematian hitam" (black death) di wilayah Eropa. Kemudian ketika pasukan Britania Utara memberikan pakaian dan selimut dari rumah sakit yang merawat penderita cacar kepada bangsa Indian untuk memusnahkan bangsa tersebut. Dan banyak lagi sejarah peperangan yang telah menggunakan senjata biologis yang tumbuh berdasarkan ilmu pengetahuan yang berkembang saat itu," pungkas Dede mengakhiri keterangan.

(*)