BANDUNG (Harian.co) — "Mungkin kebanyakan orang Indonesia, termasuk saya sebelumnya tidak mengetahui ada kasus pembunuhan dan dugaan ruda paksa yang terjadi di Cirebon tahun 2016. Barangkali saat itu masuk kategori kasus kriminal yang bisa ditangani oleh tingkat polres, sehingga penanganan kasus tersebut tidak ditarik ke polda. Namun, setelah beredarnya film Vina perhatian publik cukup banyak yang menaruh perhatian. Saya sendiri sempat di wa oleh beberapa teman yang meminta tanggapan terkait dengan kasus tersebut. Menurut hemat saya, kasus ini menjadi perhatian publik bahkan teka teki publik karena ramainya pemberitaan yang simpang siur termasuk keterangan beberapa pihak yang bertolak belakang alias adanya ketidaksesuaian keterangan yang diperoleh, lalu berbagai alibi pun mengalir deras di media sosial," ujar Pemerhati Kepolisian Dede Farhan Aulawi di Bandung, Minggu (09/06/2024).

Hal tersebut ia sampaikan ketika mendapat beberapa pertanyaan dari awak media ketika ditanya kemungkinan menggunakan alat uji kebohongan atau lie detector terhadap para pihak yang dimintai keterangan.

Menurutnya, berbagai faktor psikologis dan gestur tubuh bisa menjadi petunjuk yang mengungkap kebenaran di balik kebohongan cerita atau informasi yang disampaikan oleh seseorang.

Meskipun ada beberapa pertanyaan terkait tingkat keakuratan dan kepercayaan atas penggunaan hasil pengujian kebohongan menggunakan alat uji kebohongan (lie detector) atau yang dikenal dengan nama poligraf untuk para pelaku dan/atau yang diduga terlibat dalam peristiwa tersebut.

Pada kesempatan ini, Dede menjelaskan bahwa alat deteksi kebohongan merupakan instrumen yang dirancang untuk memeriksa tanda-tanda fisik secara spesifik (khusus) ketika seseorang diminta untuk menjawab suatu pertanyaan tertentu yang diajukan oleh investigator.

Tanda-tanda spesifik akan merujuk pada suatu dukungan secara ilmiah apakah jawaban atas pertanyaan yang diajukan telah dijawab dengan  benar atau tidak atau bahkan jawaban yang diberikan berupa suatu skenario kebohongan.

Perubahan secara fisiologis pada seseorang yang sengaja berbohong dapat dibedakan oleh investigator menggunakan alat uji kebohongan ini.

Secara sederhana, pendeteksi kebohongan berupa mesin poligraf yang dapat mendeteksi dan merekam berbagai fenomena fisiologis atau tanda-tanda spesifik seperti denyut nadi, tekanan darah, pernapasan, dan lain-lain. 

John A. Larson seorang polisi di California pernah melakukan pengamatan dan mencatat perubahan terus menerus pada tekanan darah dan pola pernapasan saat seseorang sedang berbohong.

Ia ingin menjadikan Investigasi yang dilakukan oleh polisi dapat digunakan secara lebih ilmiah dan tidak terlalu bergantung pada naluri, insting dan informasi yang diperoleh dari interogasi dengan pendekatan ancaman atau 'psikologi tingkat ketiga', sehingga ia merancang perangkat untuk mendeteksi indikasi kecurangan (fraud) terhadap setiap jawaban yang diberikan oleh individu-individu yang sedang diuji (diinvestigasi).

Ia yakin bahwa tindakan kecurangan (fraud) akan diikuti dan berkorelasi dengan adanya pemberitahuan perubahan fisik.

Berbohong, dalam pikirannya akan membuat orang gugup, yang bisa dikenali dari perubahan pola pernapasan dan tekanan darah.

Mengukur perubahan pola pernafasan dan tekanan darah secara real-time akan dapat berfungsi sebagai proksi yang andal untuk menemukan adanya kebohongan.

Guna menyempurnakan teknologi yang dikembangkan, Larson menciptakan perangkat yang secara bersamaan mencatat perubahan pola pernapasan, tekanan darah, dan denyut nadi, yang dikenal dengan sebutan poligraf.

"Saat ini teknologinya terus berkembang sehingga hasilnya lebih cepat, lebih andal, dan dibuat dalam bentuk portable sehingga dapat digunakan secara mobile," tambah Dede.

Pemeriksaan poligraf dalam pembuktian pidana di Indonesia dapat ditemukan melalui beberapa putusan hakim. Di samping putusan pengadilan, poligraf diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Indonesia (Perkap) No.10 Tahun 2009 tentang Tata Cara dan Persyaratan Permintaan Pemeriksaan Teknis Kriminalistik Tempat Kejadian Perkara dan Laboratoris Kriminalistik Barang Bukti Kepada Laboratorium Forensik Kepolisian Negara RI.

Selanjutnya Dede juga mengatakan bahwa uji kebohongan mendeteksi adanya kebohongan dari sistem gelombang.

Bila seseorang berbohong maka gelombang akan bergetar cepat. Sebaliknya jika seseorang jujur, maka gelombang tidak bergetar dengan cepat dan tidak terdeteksi oleh uji kebohongan. Rata-rata, tes poligraf memiliki tingkat akurasi sekitar 88-95% dalam kondisi optimal.

Namun, beberapa faktor dapat mengganggu hasil misalnya terkait keterampilan, dan metode analisis pemeriksa dan juga keadaan emosional orang yang diuji.

Penggunaan alat uji kebohongan hanya berkedudukan sebagai instrumen bagi penyidik dalam membuat terang suatu tindak pidana serta dapat membantu efisiensi kinerja penyidik. Dengan demikian, hasil dari lie detector tidak diakui sebagai alat bukti, melainkan hanya sebagai sarana interogasi.

"Jadi penggunaan alat lie ditector ini sebagai salah satu alat bantu untuk mengetahui kebenaran informasi yang disampaikan oleh seseorang ketika dimintai keterangan. Dengan demikian keberadaannya tentu akan membantu tugas para penyidik ketika sedang melakukan penyidikan terhadap perkara yang sedang ditanganinya. Semoga alat ini juga bisa membantu pengungkapan kasus Vina yang sedang viral ini. Setiap orang yang terlibat dan otak kejahatan dalam peristiwa  tersebut semoga segera terungkap sehingga terpenuhinya rasa keadilan di tengah masyarakat," pungkas Dede.

(*)