PEKANBARU (Harian.co) — Hiruk pikuk terkait perkara pemalsuan tanda tangan H Sopian HAS (71) warga Manggala Sakti, Tanah Putih, Rokan Hilir (Rohil) yang ditangani oleh penyidik Satreskrim Polres Rohil semakin hangat terdengar ditelinga. 

Hal ini disebabkan lambatnya proses hukum di Polres Rohil. Hingga berita ini diterbitkan, perkara pemalsuan tanda tangan ini sudah berjalan 7 bulan lebih. Diduga ada permainan dalam perkara ini, sehingga kasus ini sengaja dilama-lamakan proses hukumnya.

Bayangkan, setingkat kasus pemalsuan tanda tangan ini, pihak penyidik harus memeriksa dua orang saksi ahli. Bahkan baru-baru ini, pihak penyidik menginformasi kepada anak korban H Sopian HAS, Muzakir SE, bahwa perkara tersebut akan dilakukan uji Labfor, namun itupun belum diketahui kapan waktunya, karena penyidik mengatakan masih menunggu penetapan sita dari pengadilan. Padahal penyitaan barang bukti dari terlapor tidak perlu ada penetapan dari pengadilan.

Seperti yang disampai Pakar Hukum Pidana Universitas Riau (UR), Dr Erdianto Effendi SH MHum ketika diwawancarai riautime.com. Dr Erdianto secara tegas menyebutkan, penyitaan Barang Bukti (BB) untuk digunakan uji Laboratorium Forensik (Labfor) tidak perlu penetapan sita dari Pengadilan Negeri.

Menurut Dr Erdianto, penyidik kepolisian dapat menyita barang bukti terkait kasus pemalsuan tanda tangan untuk keperluan uji Labfor tanpa menunggu penetapan sita dari pengadilan. 

Namun, sita tersebut harus didasarkan pada kewenangan hukum yang sah dan prosedural yang benar, seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. 

"Penyidik kepolisian memiliki wewenang untuk menyita barang bukti yang relevan dengan perkara yang disidik, termasuk dalam kasus pemalsuan tanda tangan. Wewenang ini berasal dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, yang mengatur prosedur hukum acara pidana," kata pakar hukum pidana Universitas Riau.

Dikatakan juga, penyitaan barang bukti harus dilakukan dengan prosedur yang benar dan sesuai dengan ketentuan hukum. Prosedur ini mencakup pembuatan berita acara sita, pemberitahuan kepada pemilik atau penguasaan barang bukti, serta penyimpanan barang bukti yang aman. 

Barang bukti yang disita menurut Dr Erdianto Effendi SH MHum dapat digunakan untuk uji Labfor guna membantu penyidik dalam mengidentifikasi keaslian tanda tangan dan mengungkap kejahatan pemalsuan. 

"Penetapan sita dari pengadilan biasanya dilakukan dalam kasus-kasus tertentu, seperti penyitaan yang dilakukan terhadap barang bukti yang dianggap penting atau bernilai tinggi. Namun, dalam kasus pemalsuan tanda tangan yang umum, penyidik dapat melakukan penyitaan berdasarkan kewenangan hukumnya. Intinya, kalau memang dibutuhkan cukup melaporkan saja kepada ketua pengadilan, tidak perlu menunggu penetapan sita keluar," ungkapnya. 

Ditambah Dr Erdianto, penyitaan barang bukti untuk uji Labfor didasarkan pada Pasal 83 KUHAP, yang mengizinkan penyidik untuk menyita barang bukti yang dianggap penting untuk pembuktian suatu perkara. 

Tujuan dari penyitaan barang bukti adalah untuk mengamankan barang bukti agar tidak hilang atau dimusnahkan, serta untuk digunakan sebagai alat bukti dalam proses persidangan. 

"Setelah perkara selesai, barang bukti yang disita akan dikembalikan kepada pemilik atau penguasaan barang bukti tersebut, atau kepada pihak yang berhak atas barang bukti. Pengembalian ini dilakukan berdasarkan surat perintah atau penetapan pengembalian dari atasan penyidik," terangnya.***