PEKANBARU (Harian.co) — Isu akan dikeluarkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dari Polres Rohil terhadap perkara pemalsuan tandatangan H Sopian HAS (73) warga Menggala Sakti, Tanah Putih Sedinginan, Rokan Hilir (Rohil) mulai mencuat ke publik dalam dua terakhir ini.
Hal ini dikatakan oleh anak korban H Sopian HAS, Muzakir SE kepada awak media. Menurut Muzakir, isu akan keluarnya SP3 tersebut didengarnya dalam dua bulan terakhir ini, namun ia tidak mengubris isu bodoh tersebut.
Karena menurutnya, perkara yang dialami oleh orangtuanya itu sudah lengkap dengan barang bukti dan tidak mungkin bisa dilakukan SP3. Adapun barang bukti dalam perkara pemalsuan tandatangan ini berupa hasil uji Labfor Polda Riau, keterangan saksi dan keterangan saksi ahli.
"Saya mendengar dari cerita warga di Menggala Sakti yang katanya perkara orangtua saya akan dikeluarkan SP3. Isu itu saya anggap isu bodoh. Saya tidak perduli dengan isu itu. Yang jelas perkara pemalsuan tandatangan orangtua saya sudah mencukupi bukti. Sudah ada tiga barang bukti. Bukti apalagi yang dibutuh penyidik. Yang saya ketahui setiap perkara tindak pidana hanya butuh 2 barang bukti saja," kata Muzakir SE.
Sementara itu, Kabid Humas Polda Riau Kombes Pol Anom Karibianto SIK ketika berbincang-bincang dengan awak media terkait SP3 dalam perkara tindak pidana mengatakan, SP3 tersebut merupakan kewenangan dari penyidik yang diatur dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP. Namun tidak serta merta bisa dikeluarkan dengan mudah SP3 tersebut, harus sesuai dengan petunjuk yang ditetap dalam KUHP.
"Penyidik harus berhati-hati mengeluarkan SP3 terhadap perkara. Harus diteliti yang lebih mendalam setiap mengeluarkan SP3. Jangan asal mengeluarkan saja SP3. Kalau barang buktinya sudah lengkap untuk apa dilakukan SP3. Kalau dipaksakan juga mengeluarkan SP3, itu penyidiknya cari penyakit. Pasti ada sanksi terhadap penyidik yang sengaja mempermainkan perkara. Jangan coba-coba memaksakan SP3. Kalau barang buktinya sudah lengkap langsung saja kirim ke Kejaksaan," terang Kabid Humas.
Dijelaskan Kombes Anom, terbitnya surat perintah penghentian penyidikan atau SP3 oleh kepolisian merupakan surat pemberitahuan dari penyidik pada penuntut umum bahwa perkara dihentikan penyidikannya. SP3 menggunakan formulir yang telah ditentukan dalam Keputusan Jaksa Agung Nomor 518/A/J.A/11/2001 tanggal 1 November 2001 tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung RI Nomor 132/JA/11/1994 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana.
"SP3 terbit ketika sudah adanya penetapan seseorang sebagai tersangka. Jika mengacu pada KUHAP, penghentian penyidikan merupakan kewenangan dari penyidik yang diatur dalam Pasal 109 ayat (2) KUHP. Pasal tersebut berbunyi, dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya. Terdapat 3 alasan terbitnya penghentian penyidikan di Kepolisian, yaitu:
1. Tidak cukup bukti
- Untuk dapat memproses kasus pidana, penyidik harus punya minimal dua alat bukti yang sah untuk melanjutkan suatu kasus. Alat bukti yang dimaksud adalah keterangan saksi, surat, dan keterangan ahli.
Sehingga bila berdasarkan hasil pemeriksaan tidak ditemukan minimal dua alat bukti, maka kasus tersebut dihentikan dengan alasan tidak cukup bukti.
2. Bukti tindak pidana
- Artinya, setelah dilakukan gelar perkara, penyidik menyimpulkan bahwa kasus yang diproses ini ternyata bukan tindak pidana melainkan masalah perdata, atau administrasi. Sehingga perkara dihentikan atas dasar bukan tindak pidana.
3. Dihentikan demi hukum
- Secara hukum, kasus tersebut secara formil tidak memenuhi ketentuan hukum untuk dilanjutkan misalnya karena kasus sudah pernah diproses sebelumnya dan sudah ada putusannya. Kemudian tersangka meninggal dunia dan daluarsa sehingga atas dasar tersebut kasus dihentikan demi hukum," ujar Kabid Humas lagi.
Mengenai daluarsa, terdapat empat kategori, yaitu sudah lewat satu tahun untuk tindak pidana percetakan, sudah lewat 6 tahun untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana denda, kurungan atau penjara tidak lebih dari 3 tahun, sesudah 12 tahun untuk tindak pidana dengan ancaman pidana lebih dari 3 tahun, dan sesudah lewat 18 tahun, untuk tindak pidana dengan ancaman pidana mati atau seumur hidup.
"Perlu saya jelaskan, penyidik dalam menetapkan status seseorang sebagai tersangka memerlukan pertimbangan kualitas dan kuantitas alat bukti. Meski diperlukan minimal dua alat bukti, tidak ada salahnya di back up dengan alat bukti lainnya agar tidak ada alasan untuk terbitnya SP3 karena kekurangan bukti," ungkap Kombes Anom.
Dikatakan Kabid Humas juga, oleh karena SP3 merupakan salah satu objek praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 dan Pasal 77, juncto PERMA 4/2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan. Atas terbitnya SP3, pelapor atau kuasanya dapat melakukan permohonan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri. Dalam mengajukan permohonan gugatan praperadilan, ada permintaan yang ditujukan kepada hakim untuk membatalkan SP3 dan memerintahkan untuk meneruskan penyidikan.***




