PEKANBARU (Harian.co) — Hilangnya sekitar 75 persen hutan di Provinsi Riau bukan sekadar catatan statistik lingkungan, melainkan jejak panjang pembiaran dan kegagalan korporasi menjaga tanggung jawab ekologisnya.
Kapolda Riau Irjen Pol Herry Heryawan secara tegas menempatkan industri berbasis lahan sebagai salah satu aktor yang tidak bisa dilepaskan dari bencana lingkungan di Bumi Lancang Kuning.
Mengacu pada data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dari total 5,4 juta hektare hutan Riau, kini hanya tersisa sekitar 1,7 juta hektare. Selebihnya lenyap akibat deforestasi masif dan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang berulang hampir setiap tahun.
"Alam bukan untuk dieksploitasi. Kalau kita menjaga alam, maka alam akan menjaga kita," tegas Irjen Herry saat berbicara dalam detikcom Regional Summit di Pekanbaru, Jumat (19/12/2025).
Menurut Irjen Herry, karhutla tidak bisa lagi dipandang sebagai musibah alam semata. Pola berulang yang terjadi menunjukkan adanya indikasi pembukaan lahan secara sistematis, terutama di wilayah konsesi yang beririsan dengan kepentingan ekonomi skala besar, termasuk perkebunan kelapa sawit.
"Penyebabnya jelas, deforestasi dan kebakaran hutan. Ini bukan kejadian alamiah, ini perbuatan manusia," ujarnya.
Ia menegaskan, korporasi tidak boleh berlindung di balik izin usaha untuk mengabaikan kewajiban menjaga lingkungan.
Praktik pembakaran lahan baik langsung maupun melalui pembiaran adalah kejahatan lingkungan yang berdampak luas, mulai dari krisis kesehatan akibat asap, kerusakan ekosistem gambut, hingga bencana banjir.
Di bawah kepemimpinannya, Polda Riau berkomitmen memperkuat penegakan hukum tanpa pandang bulu. Irjen Herry menekankan bahwa aparat tidak hanya membidik pekerja lapangan, tetapi juga akan menelusuri tanggung jawab pidana korporasi dan aktor intelektual di balik kejahatan lingkungan.
"Penegakan hukum tidak boleh berhenti di ujung rantai. Siapa yang menikmati keuntungan, dia juga harus menanggung akibat hukumnya," katanya.
Selain langkah represif, Irjen Herry juga mengingatkan bahwa nilai-nilai kearifan lokal Melayu sejatinya telah lama mengajarkan hubungan harmonis antara manusia dan alam nilai yang ironisnya justru tergerus oleh keserakahan modern.
"Tunjuk ajar Melayu mengajarkan kita mengagungkan alam. Ketika nilai itu diabaikan, yang muncul adalah krisis," ujarnya.
Ia menutup dengan peringatan keras: jika korporasi terus menempatkan keuntungan di atas kelestarian, maka Riau akan terus terjebak dalam siklus asap, bencana ekologis, dan penderitaan sosial.
"Hutan yang habis hari ini adalah masa depan yang dirampas dari anak cucu kita," pungkasnya.
(*)



